Sabtu, 24 Agustus 2019

Pengakuan Dosa


Kapan hari, saya tidak sengaja membaca cuitan mutual saya selepas berkumpul bersama temen masa kecilnya. Mereka terlihat bahagia dan akrab. Sejujurnya saya iri. Bukan iri karena saya tidak punya teman, saya iri karena dia berhasil 'selalu intim' dengan temannya. Saya iri dengan kehebatannya.


Saya selalu mengeluh kesepian, tapi saya tidak pernah mencoba keluar dari keterasingan.


Saya selalu begini. Mengulurkan tangan, bersendau gurau, lalu menghilang ketika saya bertapa. Selalu demikian.


Saya selalu begini. Membuat akun sosmed, aktif, lalu hapus akun ketika saya bosan. Selalu demikian.


Saya selalu begini. Merasa sendiri, merindukan keintiman, lalu mengamati kehidupan mereka melalui sosmed. Tersenyum simpul ketika melihat mereka (sekarang) sudah menemukan bahagia; menjadi istri atau suami, menjadi om atau tante, menjadi ibu atau bapak, memiliki hobi yang menyenangkan, memiliki seseorang yang bisa dipanggil kekasih, maupun memiliki idola baru. Saya selalu demikian.


Saya selalu begini. Ketika rindu mereka terlalu gengsi memulai obrolan di personal chat. Ketika penasaran akan kabarnya, saya terlalu gengsi untuk menelponnya. Hanya menyimpan nomor mereka. Saya selalu demikian.


Saya selalu demikian. Menyampaikan rindu dengan menuliskan segala tingkah lakunya melalui tokoh fiksi yang saya ciptakan. Tulisan yang sampai saat ini masih tersimpan rapi di salah satu folder laptop saya. Tanpa ada niatan saya publikasikan. Karena saya tahu, mereka terlalu berharga untuk sekedar menjadi tokoh fiksi.


Saya selalu dan selalu demikian. Memilih menjadi tidak terlihat, namun nyatanya menjadikan mereka alasan saya terus menulis. Ya meskipun, tulisan juga rindu saya tidak pernah menjadi nyata.




Demikian saya, (mungkin) dilupakan. Sudah seharusnya begitu. Karena saya tidak pernah mencoba untuk kembali ketika memutuskan pergi tanpa pamit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar