Rabu, 02 Januari 2019

Akan Tiba Saatnya Nanti





Hujan bukan lagi berupa musim,
ia adalah simbol dahaga.
Kepada pohon kaku; merindu akan kicau gagak
paraunya membelah ilusi dan konsekuensi.
Kepada bunga layu; menahan jumpa akan lebah betina
parasnya membungkam resah juga tanya.

Bulan bukan lagi berupa gerhana,
ia adalah simbol pengorbanan.
Kepada malam; yang membiarkan gulita menyelimutinya
mengaburkan cahaya bintang dengan dusta.
Kepada matahari; yang mengaku lelah berkobar
meski ia sempat mengaku terintimidasi akan ruang dan waktu.

Aku,
bukan lagi berupa manusia, tapi penyesalanmu.
Yang kau endapkan dalam secangkir kopi, agar pahitku tidak bernyawa.
Yang kau bakar bersama sampah sisa dosa bersama.

Laporan Pertanggung Jawaban






Sampang dan kita,
adalah musim yang tak terbaca.
Hujan meluruhkan jumpa, membanjirkan kata dan bahasa,
tanpa sempat diminta maupun dibaca.
Menumbangkan doa kita diantara mega dan sukma.
Menahan kita, diantara rahasia dan dosa.

Sampang dan kita,
menerka segala bahaya dalam siksa raga.
Membiarkan malam mengiris waktu,
sedangkan rindu berlarian mencari pisau, dan berebut menyebut dirinya yang paling tajam.
Mungkin rindu terlalu bosan menahan diri, ia butuh bunuh diri.
Agar takdir menyadari ketidakadaannya;
barangkali sudi membacakan ayat-ayat suci di setiap jengkal kepulangannya.

Sampang dan kita adalah selamat tinggal.
Di pagi buta, kita mengemas memori itu dan menatanya di dalam koper.
Nanti ketika kita sudah di Surabaya, memori itu kita pilah;
mana yang harus kita buang, mana yang harus kita simpan dalam lemari.

Sampang dan kita adalah tanda titik.
—Untuk Sampang atas 25 hari yang berarti—




Selasa, 01 Januari 2019

Him


Seorang pria berjalan melewatiku begitu saja. Dia sangat acuh dengan sekitar, hingga tidak sadar tiap kali ia berjalan puluhan lampu sorot meneranginya. Ia tidak merasa meskipun bisik-bisik wanita mengiringi langkahnya. Ia tidak perlu mendongak ataupun tersenyum. Cukup berjalan; dunia berada di genggamannya.


Seorang pria duduk membentuk sudut di sampingku. Dia melirikku sekilas lalu tersenyum tipis. Tanpa izin ia langsung mengelus kepalaku dengan lembut. Aku terkejut dan mendongakkan kepala. Aku menggerakan kepala ke arahnya dan mata kami bertemu. Aku memberanikan diri menatap matanya lebih dari 5 detik. Entah bagaimana, ia sudah tersenyum lebar. Mengangkat dan meletakanku pada pangkuannya, kemudian menciumku. Dia selalu begini ketika kita bertemu di belakang kampus.


Kita hanya sekedar nyaman, bukan dalam suatu hubungan. Kita hanya saling memberi hiburan, bukan berbagi perasaan. Karena dia adalah manusia dan aku hanya seekor kucing yang telah dibuang majikanku.


Untuknya yang selalu memiliki dunia sendiri saat bersama kucing :)