Jumat, 17 Januari 2020

Mari Bercerita



Kelulusan adalah hal yang paling selalu saya hindari. Sebab ia mampu menciptakan renggang dalam sebuah keintiman. Keintiman masa muda yang begitu indah untuk hanya sekedar dikenang. Renggang-renggang ini hadir ketika kita memutuskan untuk saling melepaskan genggaman tangan; ada mimpi yang harus diwujudkan, cita-cita yang menuntut untuk diraih, norma sosial yang makin mendesak, juga pengakuan yang lama dirindukan. Kelulusan tidak pernah menciptakan kerenggangan itu, namun kita sendiri.

Jarak yang semakin lebar ini bisa menjadi sempit karena tiga hal; pernikahan, kematian, dan kelahiran.

Memasuki usia yang dipercaya sebagai waktu ideal untuk menikah ini, saya merasa sepi karena teman-teman saya sudah memilih berumah tangga dan menjalin asmara. Sedangkan saya? Masih di dalam petak ruang berukuran 3x3 meter, menjelajah dunia melalui buku dan imajinasi. Saya masih belum berkembang, sedangkan mereka sudah berkembang biak.

Membicarakan momen, saya selalu menantikan kabar pernikahan, kematian, atau kelahiran. Sebab saat itu saya bertemu mereka. Kembali bercengkrama dan mengobrol. Membahas kebodohan, kenakalan, kebahagian, dan cerita-cerita masa muda yang kita lalui bersama-sama.

Mensyukuri teknologi masa itu yang jauh dari kata canggih, karena kita bisa saling duduk melingkar dan bersendau gurau, tidak  menunduk dan sibuk memilih filter atau caption. Kita pernah bahagia dengan cara paling sederhana.

Jadi, apa kabar kalian? Apakah kalian masih suka melamun memikirkan momen itu hingga terbawa mimpi?



Disini, saya hampir setiap hari demikian.

Rabu, 04 Desember 2019

Menjadi Diri Sendiri


The best love is love yourself - Anonim


Namun, tidak semua orang mampu mencintai dirinya sendiri. Karena, orang lain terus memintamu menjadi seperti orang lain.

Ketika kamu mulai mencintai diri sendiri, ketika itu juga orang lain mulai memintaimu menjadi seperti dia.

Dia yang cantik.
Dia yang anggun.
Dia yang tampan.
Dia yang rupawan.
Dia yang agamis.
Dia yang maskulin.
Dia yang feminim.
Dia yang cerdas.
Dia yang bla bla bla.

Orang selalu meminta kita menjadi "bla bla bla" tanpa pernah mendengarkan apa "bla bla bla" itu baik untuk kita?

Orang selalu sibuk berkomentar tanpa pernah sejenakpun bertanya padaku.
Orang selalu sibuk menciptakan ekspetasi sendiri tanpa mengetahui seperti apa kemampuanku.
Orang selalu sibuk menantikan kesuksesan tanpa pernah sekalipun menengok usahaku.

Pernah sesekali aku mengeluh dan seseorang merespon, "Yang bisa kau percaya adalah dirimu sendiri."

Aku ingin lebih percaya diriku sendiri, tapi ekspetasi tinggi membuat tubuh ini membungkuk karena tatapan menghakimi mereka membuatku susah berdiri tegak dengan angkuh nan gagah. Beban ini tidak lagi di pundak, namun menyebar ke seluruh tubuhku.

Aku ingin berhenti tapi raut wajah mereka membuatku tidak mungkin untuk berhenti. Ekspetasi tinggi sudah mendominasi dan egoku hanya sebuah angin lalu.


Aku lelah. Selelah itu hidup menjadi dri sendiri. Karena menjadi diri sendiri itu menakutkan. Jadi, untuk apa aku hidup? Menjadi diri sendiri atau menjadi seperti tuntutan orang lain?

Jumat, 30 Agustus 2019

Pertanyaan



Apakah saya baik-baik saja?
Setelah gagal mendekap saya hampir satu tahun lamanya? Setelah mimpi tidak menjadi nyata dan kenyataan selalu melelahkan hati dan pikiran saya?

Apakah saya baik-baik saja?
Sebab, akhir-akhir ini saya menggilai segala hal yang berwarna hitam dan saya semakin mencintai sepi. Apakah ini disebut dengan menarik diri?

Apakah saya baik-baik saja?
Walaupun saya punya suara tawa paling keras, mengoleksi meme, juga menyebutkan jokes receh nan gurih.

Apakah saya baik-baik saja?
Asalkan saya selalu bisa berbagi ketenangan, kata motivasi, juga bahu kokoh sebagai tempat bersandarmu.

Apakah saya baik-baik saja?
Meskipun saya memiliki puluhan ide untuk menuliskan segala keresahan dan ketakutan, sehingga ada alasan untuk menjadi tenang.






'Apakah kamu baik-baik saja?' bisikku pada diri sendiri sambil memandang gambar anjing hitam di galeri ponselku.

Sabtu, 24 Agustus 2019

Pengakuan Dosa


Kapan hari, saya tidak sengaja membaca cuitan mutual saya selepas berkumpul bersama temen masa kecilnya. Mereka terlihat bahagia dan akrab. Sejujurnya saya iri. Bukan iri karena saya tidak punya teman, saya iri karena dia berhasil 'selalu intim' dengan temannya. Saya iri dengan kehebatannya.


Saya selalu mengeluh kesepian, tapi saya tidak pernah mencoba keluar dari keterasingan.


Saya selalu begini. Mengulurkan tangan, bersendau gurau, lalu menghilang ketika saya bertapa. Selalu demikian.


Saya selalu begini. Membuat akun sosmed, aktif, lalu hapus akun ketika saya bosan. Selalu demikian.


Saya selalu begini. Merasa sendiri, merindukan keintiman, lalu mengamati kehidupan mereka melalui sosmed. Tersenyum simpul ketika melihat mereka (sekarang) sudah menemukan bahagia; menjadi istri atau suami, menjadi om atau tante, menjadi ibu atau bapak, memiliki hobi yang menyenangkan, memiliki seseorang yang bisa dipanggil kekasih, maupun memiliki idola baru. Saya selalu demikian.


Saya selalu begini. Ketika rindu mereka terlalu gengsi memulai obrolan di personal chat. Ketika penasaran akan kabarnya, saya terlalu gengsi untuk menelponnya. Hanya menyimpan nomor mereka. Saya selalu demikian.


Saya selalu demikian. Menyampaikan rindu dengan menuliskan segala tingkah lakunya melalui tokoh fiksi yang saya ciptakan. Tulisan yang sampai saat ini masih tersimpan rapi di salah satu folder laptop saya. Tanpa ada niatan saya publikasikan. Karena saya tahu, mereka terlalu berharga untuk sekedar menjadi tokoh fiksi.


Saya selalu dan selalu demikian. Memilih menjadi tidak terlihat, namun nyatanya menjadikan mereka alasan saya terus menulis. Ya meskipun, tulisan juga rindu saya tidak pernah menjadi nyata.




Demikian saya, (mungkin) dilupakan. Sudah seharusnya begitu. Karena saya tidak pernah mencoba untuk kembali ketika memutuskan pergi tanpa pamit.

Rabu, 02 Januari 2019

Akan Tiba Saatnya Nanti





Hujan bukan lagi berupa musim,
ia adalah simbol dahaga.
Kepada pohon kaku; merindu akan kicau gagak
paraunya membelah ilusi dan konsekuensi.
Kepada bunga layu; menahan jumpa akan lebah betina
parasnya membungkam resah juga tanya.

Bulan bukan lagi berupa gerhana,
ia adalah simbol pengorbanan.
Kepada malam; yang membiarkan gulita menyelimutinya
mengaburkan cahaya bintang dengan dusta.
Kepada matahari; yang mengaku lelah berkobar
meski ia sempat mengaku terintimidasi akan ruang dan waktu.

Aku,
bukan lagi berupa manusia, tapi penyesalanmu.
Yang kau endapkan dalam secangkir kopi, agar pahitku tidak bernyawa.
Yang kau bakar bersama sampah sisa dosa bersama.

Laporan Pertanggung Jawaban






Sampang dan kita,
adalah musim yang tak terbaca.
Hujan meluruhkan jumpa, membanjirkan kata dan bahasa,
tanpa sempat diminta maupun dibaca.
Menumbangkan doa kita diantara mega dan sukma.
Menahan kita, diantara rahasia dan dosa.

Sampang dan kita,
menerka segala bahaya dalam siksa raga.
Membiarkan malam mengiris waktu,
sedangkan rindu berlarian mencari pisau, dan berebut menyebut dirinya yang paling tajam.
Mungkin rindu terlalu bosan menahan diri, ia butuh bunuh diri.
Agar takdir menyadari ketidakadaannya;
barangkali sudi membacakan ayat-ayat suci di setiap jengkal kepulangannya.

Sampang dan kita adalah selamat tinggal.
Di pagi buta, kita mengemas memori itu dan menatanya di dalam koper.
Nanti ketika kita sudah di Surabaya, memori itu kita pilah;
mana yang harus kita buang, mana yang harus kita simpan dalam lemari.

Sampang dan kita adalah tanda titik.
—Untuk Sampang atas 25 hari yang berarti—




Selasa, 01 Januari 2019

Him


Seorang pria berjalan melewatiku begitu saja. Dia sangat acuh dengan sekitar, hingga tidak sadar tiap kali ia berjalan puluhan lampu sorot meneranginya. Ia tidak merasa meskipun bisik-bisik wanita mengiringi langkahnya. Ia tidak perlu mendongak ataupun tersenyum. Cukup berjalan; dunia berada di genggamannya.


Seorang pria duduk membentuk sudut di sampingku. Dia melirikku sekilas lalu tersenyum tipis. Tanpa izin ia langsung mengelus kepalaku dengan lembut. Aku terkejut dan mendongakkan kepala. Aku menggerakan kepala ke arahnya dan mata kami bertemu. Aku memberanikan diri menatap matanya lebih dari 5 detik. Entah bagaimana, ia sudah tersenyum lebar. Mengangkat dan meletakanku pada pangkuannya, kemudian menciumku. Dia selalu begini ketika kita bertemu di belakang kampus.


Kita hanya sekedar nyaman, bukan dalam suatu hubungan. Kita hanya saling memberi hiburan, bukan berbagi perasaan. Karena dia adalah manusia dan aku hanya seekor kucing yang telah dibuang majikanku.


Untuknya yang selalu memiliki dunia sendiri saat bersama kucing :)